Anggota Komisi IV DPR, Riezky Aprilia, geram dengan langkah pemerintah. Pangkalnya, baru bersikap atas polusi udara saat masalah itu melanda DKI Jakarta dan menjadi atensi publik. Padahal, problem serupa terjadi di daerah lain.
"Coba dilihat itu daerah-daerah di wilayah yang terdampak tambang, emang enggak terkena polusi?" tanya politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
"Sorry to say, di daerah pelosok-pelosok yang tambangnya juga luar biasa eksploitasinya, debunya sampai naik. Itu juga polusi itu. Kenapa tiba-tiba Jakarta harus menjadi episentrum?" sambungnya.
Riezky menyampaikan, Riau saat ini juga mengalami polusi udara buntut kebakaran hutan. Pun demikian dengan beberapa daerah lain seperti di Sulawesi.
"Indonesia itu luas sekali dan semua sekarang lagi terdampak polusi. Emang ada yang mengecek di Sulawesi itu lagi dampak eksploitasi tambang? Ya, kan, enggak! Ada emang tahu di Kalimantan sungai yang tercemar gara-gara polusi juga?" ucapnya.
Riezky mengakui bahwa Jakarta menjadi perhatian karena ibu kota negara, pusat pemerintahan dan perekonomian. Namun, ia meminta pemerintah harus membuat kebijakan penanggulangan polusi udara secara adil.
"Pemerintah jangan selalu parsial dalam mengambil kebijakan. Kenapa? berlaku di Jakarta. Apabila terjadi polusi di wilayah lain yang sama, harus berlaku sama juga, equal karena hak untuk mendapatkan udara itu adalah hak seluruh wilayah negara Indonesia," tuturnya.
Udara di Jabodetabek dalam beberapa waktu terakhir tercemar. Berdasarkan data situs IQAir, kualitas udara Jakarta bahkan terburuk di dunia pada Minggu (13/8) pagi, pukul 06.14 WIB.
Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta tercatat 170 poin atau tidak sehat dengan konsentrasi polutan utama PM2.5 sebesar 93,2 mikrogram per meter kubik. Particulate Matter (PM2.5) adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer).
Jokowi pun membahas masalah ini dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (14/8). Forum menghasilkan kebijakan jangka pendek, menengah, dan panjang dalam menanggulangi polusi udara.
Untuk jangka pendek, Jokowi meminta otoritas berwenang melakukan intervensi dalam meningkatkan kualitas udara di Jabodetebak lebih baik. Misalnya, membuat rekayasa cuaca guana memancing hujan di kawasan Jabodetabek, dan menerapkan regulasi untuk percepatan penerapan batas emisi Euro 5 dan Euro 6, memperbanyak ruang terbuka hijau (RTH), dan memberlakukan bekerja dari rumah (work from home/WFH).
Kemudian, kebijakan jangka menengah berupa memasifkan pengurangan penggunaan kendaraan berbasis fosil dan menggalakkan pemakaian transportasi publik. "Dalam jangka panjang, ... harus dilakukan pengawasan kepada sektor industri dan pembangkit listrik, terutama di sekitar Jabodetabek. Yang terakhir, mengedukasi publik yang seluas-luasnya," imbuh Jokowi dalam ratas.